Ketika kita berbicara tentang investasi, ada satu kata yang akan selalu muncul dalam pembicaraan tersebut. Kata yang dimaksud adalah “risiko”. Mengapa pengelolaan risiko menjadi bagian yang sangat penting dalam investasi ? Jawabannya adalah karena investasi merupakan suatu aktifitas yang sepenuhnya berkaitan dengan kejadian di masa depan yang tidak ada seorangpun yang dapat mengetahuinya dengan pasti. Oleh karena itu, risiko merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari dalam investasi.
Mencari investasi yang nilainya kemungkinan akan naik bukanlah suatu hal yang sulit, terutama diperiode bull market. Namun jika kita ingin sukses berinvestasi dalam jangka panjang, maka kemampuan untuk mengelola risiko menjadi satu variabel yang tidak dapat diabaikan. Secara umum proses pengelolaan risiko investasi terdiri dari 3 tahapan, memahami risiko, mengenali situasi atau kondisi yang diasosiasikan dengan risiko yang tinggi dan kemudian mengendalikan risiko tersebut yang mana merupakan tahapan yang kritis dalam proses pengelolaan risiko.
***
Setidaknya ada 3 alasan mengapa pengelolaan risiko menjadi hal yang sangat penting dalam proses investasi ?
Pertama, risiko adalah hal yang buruk dan bahwa setiap manusia yang waras ingin menghindari risiko atau meminimalisirnya. Salah satu asumsi mendasar dalam teori keuangan adalah bahwa manusia secara alami berusaha menghindari risiko dan cenderung untuk mengambil sedikit risiko. Karenanya seorang investor yang sedang mempertimbangkan suatu investasi akan menimbang seberapa besar risiko investasi tersebut dan apakah dia dapat menerima risiko tersebut.
Kedua, ketika kita mempertimbangkan suatu investasi, maka keputusan investasi tersebut sepatutnya diambil berdasarkan pertimbangan atas risiko dan potensi imbal hasilnya. Investor secara alami tidak menyukai risiko, karenanya investor perlu diimingi dengan potensi imbal hasil yang lebih tinggi untuk mengambil risiko yang lebih besar. Misal, jika ORI (obligasi ritel Pemerintah Indonesia) dan saham suatu perusahaan kecil sama-sama berpotensi menghasilkan imbal hasil 10% per tahun maka semua orang akan berbondong-bondong membeli ORI (membuat harganya naik dan menurunkan potensi imbal hasilnya di masa depan) dan menjual saham perusahaan kecil tersebut (membuat harganya anjlok dan meningkatkan potensi imbal hasilnya di masa depan).
Ketiga, ketika kita melihat data imbal hasil investasi, data tersebut tidak berarti banyak kecuali kita juga mengetahui tingkat risiko yang diambil untuk menghasilkan imbal hasil tersebut. Apakah imbal hasil tersebut dihasilkan dari investasi pada instrumen investasi yang aman atau berisiko ? Dari obligasi atau saham ? Dari saham perusahaan besar yang stabil atau saham perusahaan kecil yang tidak pasti ? Dari obligasi dan saham yang likuid atau dari private placement yang tidak likuid ? Dengan menggunakan leverage/hutang atau tanpa leverage ? Dari portepel yang terkonsentrasi atau yang terdiversifikasi ?
Misalnya imbal hasil reksadana A pada tahun 2016 sebesar 15%. Data ini saja tidak cukup bagi investor untuk menyimpulkan apakah manajer investasi reksadana A telah melakukan pekerjaannya dengan baik atau tidak. Untuk bisa mengambil kesimpulan tersebut, investor perlu mengetahui berapa besar risiko yang diambil oleh manajer investasi yang berarti investor perlu mengetahui berapa besar risk-adjusted return dari reksadana A.
***
Ketika kita membicarakan hubungan antara risiko dan imbal hasil (risk & return) maka biasanya kita akan mengimajinasikan suatu grafik dengan slope positif seperti grafik di bawah ini.

Grafik hubungan antara risiko dan imbal hasil di atas sangat umum diketahui karena cukup sederhana. Namun, banyak individu yang lantas mengambil kesimpulan yang keliru dari grafik tersebut yang menyebabkan kerugian.
Betapa sering kita mendengar jargon “high risk high return, low risk low return” atau “kalau mau keuntungan yang lebih besar, anda harus investasi pada instrumen yang lebih berisiko”. Jargon-jargon seperti ini, yang menyimpulkan bahwa investasi berisiko tinggi pasti akan menghasilkan imbal hasil yang tinggi merupakan bentuk pemahaman yang salah kaprah. Investasi yang berisiko tentunya tidak dapat dipastikan untuk memberikan imbal hasil yang tinggi. Mengapa tidak bisa ? Karena, jika suatu investasi dapat dipastikan akan memberikan imbal hasil yang tinggi maka tentunya investasi tersebut bukanlah investasi yang berisiko.
Pernyataan yang lebih tepat terkait hubungan antara risiko dan imbal hasil adalah bahwa untuk menarik minat investor maka investasi yang berisiko harus menawarkan potensi imbal hasil yang tinggi. Namun perlu dicamkan bahwa potensi imbal hasil yang tinggi tersebut belum tentu akan terealisasi.
Dengan konsep hubungan antara risiko dan imbal hasil seperti digambarkan dalam paragraf di atas, maka grafik yang lebih sesuai untuk menggambarkan hubungan tersebut adalah sebagaimana disarankan oleh Howard Marks seperti berikut ini.

Kesimpulannya, investasi yang berisiko adalah investasi yang realisasi imbal hasilnya relatif kurang dapat dipastikan. Yang artinya, distribusi kemungkinan (probability) dari imbal hasilnya lebih luas. Jika dinilai secara wajar, investasi yang berisiko dapat diasosiasikan dengan:
- potensi imbal hasil yang lebih tinggi,
- kemungkinan menghasilkan imbal hasil yang lebih rendah, dan
- dalam beberapa kasus, kemungkinan menghasilkan kerugian.
***
“The traditional risk/return graph is deceptive because it communicates the positive connection between risk and return but fails to suggest the uncertainty involved. It has brought a lot of people a lot of misery through its unwavering intimation that taking more risk leads to making more money”
–Howard Marks–
***
Tantangan berikutnya dalam memahami risiko adalah bagaimana kita mendefinisikan risiko. Secara bahasa kita dapat memahami bahwa kata risiko berkaitan dengan bahaya dan kerugian. Sayangnya, dalam teori keuangan, risiko justru didefinisikan secara spesifik sebagai volatility/volatilitas atau penyimpangan dari rata-rata, suatu definisi yang bagi investor seperti Warren Buffett dianggap tidak relevan.
Para investor terkenal, seperti halnya Warren Buffett, tidak peduli dengan kemungkinan bahwa nilai investasi mereka akan berfluktuasi. Satu-satunya risiko yang menjadi pemikiran mereka adalah kemungkinan mengalami kerugian permanen atas modal.
***
“Rather than volatility, I think people decline to make investments primarily because they’re worried about a loss of capital or an unacceptably low return. To me, “I need more upside potential because I’m afraid I could lose money” makes an awful lot more sense than “I need more upside potential because I’m afraid the price may fluctuate”. No, I’m sure “risk” is -first and foremost- the likelihood of losing money”
–Howard Marks-
***
Selanjutnya, mari kita lihat hal-hal apa saja yang menyebabkan adanya risiko terjadinya kerugian.
Pertama, risiko kerugian tidak selalu muncul karena kondisi fundamental yang buruk. Suatu aset yang secara fundamental buruk bisa saja menjadi investasi yang sukses jika dibeli pada harga yang cukup rendah. Itu sebabnya kita temukan dana investasi yang fokus investasinya pada aset bermasalah (distressed assets) seperti obligasi atau pinjaman yang gagal bayar.
Kedua, risiko bisa tetap ada meskipun tidak terlihat adanya kelemahan pada kondisi makro. Dengan kombinasi arogansi, kegagalan untuk memahami risiko dan mudahnya untuk mengambil risiko, maka perkembangan buruk pada kondisi makro sedikit saja akan cukup mendatangkan bencana. Hal ini dapat terjadi pada siapa saja yang tidak menyisihkan waktu dan usaha yang dibutuhkan untuk memahami proses yang mendasari portepel investasi mereka.
Teori keuangan menyatakan bahwa imbal hasil yang tinggi berhubungan dengan risiko yang tinggi karena imbal hasil yang tinggi muncul sebagai bentuk kompensasi atas risiko yang tinggi. Namun value investor yang pragmatis berfikir sebaliknya; mereka percaya bahwa imbal hasil yang tinggi dan risiko yang rendah dapat diperoleh secara bersamaan dengan cara membeli aset pada harga yang jauh lebih rendah dari nilai intrinsiknya. Begitu juga sebaliknya, membeli aset pada harga yang lebih tinggi dari nilai intrinsiknya akan menghasilkan imbal hasil yang rendah dan risiko yang tinggi.
***
Selanjutnya, mengingat bahwa risiko merupakan salah satu variabel bagi investor untuk mengambil keputusan investasi, maka bagaimana mereka sebaiknya menghitung risiko ?
Pertama, risiko jelas hanya merupakan suatu opini dan perkiraan.
Kedua, standar untuk kuantifikasi risiko tidak tersedia karena masing-masing investor akan selalu memiliki opini yang berbeda terkait risiko dari suatu investasi. Sebagian investor bisa saja menetapkan bahwa risiko bagi mereka adalah adanya kemungkinan tidak menghasilkan keuntungan sedangkan sebagian yang lain menetapkan bahwa risiko bagi mereka adalah adanya kemungkinan mengalami kerugian.
Ketiga, risiko dapat memperdaya. Fakta bahwa suatu investasi dapat terpengaruh secara negatif oleh suatu kejadian yang muncul sangat jarang sekali atau bahkan belum pernah terjadi sebelumnya menegaskan bahwa suatu investasi bisa saja dianggap lebih aman dari seharusnya.
Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa risiko adalah sesuatu yang subjektif, tersembunyi dan sulit untuk dikuantifikasi dengan akurat.
Lantas, bagaimana risiko dapat dikelola ?
Investor yang terampil dapat menilai jika ada risiko yang muncul dalam situasi tertentu. Penilaian mereka tersebut didasari oleh (a) apakah nilai intrinsik suatu investasi stabil dan dapat diandalkan dan (b) bagaimana hubungan antara harga pasar relatif terhadap nilai intrinsik. Hal-hal lain bisa saja menjadi bahan pertimbangan mereka, namun kebanyakannya akan mengerucut pada dua poin tersebut.
***
Kesimpulan:
Risiko investasi sebagian besarnya tidak dapat teridentifikasi sebelum terjadinya kerugian -kecuali mungkin bagi orang-orang yang memiliki wawasan yang sangat dalam- dan bahkan tetap tidak dapat teridentifikasi meskipun suatu investasi telah dijual dan menghasilkan keuntungan. Karenanya banyak bencana keuangan yang terjadi disebabkan oleh kegagalan dalam mengantisipasi dan mengelola risiko. Ada beberapa hal yang menyebabkan kegagalan ini:
- Risiko hanya ada di masa depan dan merupakan suatu hal yang mustahil untuk mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi di masa depan.
- Keputusan untuk mengambil risiko atau tidak, dilakukan berdasarkan asumsi bahwa yang akan terjadi di masa depan adalah pola-pola yang normal dan terjadi secara berulang. Namun terkadang kondisi yang sangat berbeda atau dianggap mustahil terjadi malah terjadi.
- Proyeksi cenderung untuk menggunakan data-data historis dan hanya mengasumsikan sedikit perubahan dari data historis.
- Membuat worst-case scenario yang ternyata tidak cukup berpengaruh negatif dibandingkan dengan realita.
- Risk event muncul tiba-tiba. Dan seringkali terjadi beberapa investor gagal untuk bertahan dalam periode-periode tersebut, terutama yang menggunakan leverage secara berlebihan.
- Investor terlalu percaya diri dengan kemampuan mereka untuk menimbang risiko dan memahami sesuatu yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Semisal pada periode bull market, banyak investor yang cenderung bersikap seperti ini.
- Kebanyakan investor melihat bahwa mengambil risiko merupakan cara untuk mendapatkan keuntungan. Mengambil risiko yang lebih tinggi pada umumnya dapat menghasilkan imbal hasil yang lebih tinggi. Namun hal ini tidak akan selalu terealisasi. Tatkala mengambil risiko yang lebih tinggi ternyata tidak memberikan hasil yang lebih baik atau malah menyebabkan kerugian, maka para investor akan kembali diingatkan tentang definisi risiko yang sesungguhnya.
Disadur dengan bebas dari buku The Most Important Things karya Howard Marks