Bagi kalangan akademisi, Efficient Market Hypothesis (teori efisiensi pasar) merupakan suatu teori dasar investasi yang tidak terbantahkan lagi kebenarannya. Setidaknya dua sekolah bisnis yang pernah saya ikuti (MM-UI & Aix-Marseille Graduate School of Management) mengajarkan teori ini sebagai basis dalam materi investasi.
Dalam bahasa yang sederhana, teori ini menyatakan bahwa harga suatu aset yang diperdagangkan secara terbuka telah merefleksikan seluruh informasi yang tersedia terkait aset tersebut. Implikasi dari hal ini adalah bahwa dalam suatu pasar yang efisien, harga pasar dari suatu aset telah sepenuhnya menggambarkan nilai intrinsiknya. Harga pasar hanya akan berubah karena adanya informasi baru atau perubahan tingkat suku bunga.
Berdasarkan teori ini, merupakan hal yang tidak mungkin untuk menghasilkan imbal hasil yang lebih baik dari yang dihasilkan oleh pasar. Hal ini karena tidak adanya deviasi antara harga pasar dan nilai intrinsik suatu aset yang dapat dimanfaatkan oleh seorang investor untuk menghasilkan imbal hasil di atas imbal hasil pasar. Jadi daripada menghabiskan biaya yang besar untuk mencari tips dan trik investasi yang mujarab atau untuk membayar fee manajer investasi dengan strategi active investing, maka sebaiknya investor mencukupkan diri dengan strategi indexing yaitu dengan menduplikasi komposisi portofolio aset yang terdapat dalam suatu indeks yang digunakan sebagai acuan kinerja.
Teori efisiensi pasar ini sangat bertolak belakang dengan prinsip yang diyakini oleh value investor bahwa seorang investor dapat menghasilkan imbal hasil yang lebih baik dari indeks dan investor lainnya dengan memanfaatkan deviasi antara harga pasar dan nilai intrinsik suatu aset. Lantas, siapa yang benar dalam hal ini ? Teori efisiensi pasar atau value investor ?
Fakta dilapangan menyatakan bahwa di luar sana ada para investor yang dengan kelebihan yang mereka miliki mampu mencatatkan imbal hasil investasi yang lebih baik dari imbal hasil pasar secara konsisten dalam jangka waktu yang panjang seperti misalnya Warren Buffett. Namun memang patut digaris bawahi bahwa jumlah investor super ini relatif kecil jika dibandingkan dengan populasi investor secara keseluruhan. Fakta ini menunjukkan bahwa menghasilkan imbal hasil yang lebih tinggi dari pasar merupakan suatu hal yang dapat dilakukan namun tidak semua orang dapat melakukannya.
Jika demikian, mengapa bisa muncul investor-investor super seperti Warren Buffett ?
Jawabannya sangat terkait dengan struktur dari pasar di mana suatu aset diperdagangkan. Pasar yang efisien hanya dapat terjadi jika:
- Banyak investor yang masing-masingnya berusaha keras untuk menghasilkan imbal hasil yang lebih baik dari yang lain.
- Para investor tersebut adalah individu-individu yang cerdas, objektif, bermotivasi tinggi dan dilengkapi dengan baik.
- Para investor tersebut memiliki akses yang kurang lebih sama terhadap informasi.
- Para investor tersebut dapat melakukan transaksi jual beli termasuk shorting pada semua aset.
Dari keempat asumsi tersebut, dapat kita pahami bahwa pasar saham Indonesia secara umum bukanlah suatu pasar yang efisien secara sempurna. Karena para pelaku di dalamnya merupakan manusia yang tidak dapat luput dari bias-bias psikologis (terutama sekali investor ritel) seperti ketamakan, ketakutan, kecemburuan dan berbagai bentuk emosi lainnya yang dapat merusak objektifitas dan membuka pintu untuk kesalahan. Demikian juga halnya dengan asumsi bahwa seluruh investor dapat melakukan transaksi jual beli termasuk shorting pada semua aset, padahal faktanya investor di pasar saham Indonesia sangat terkotak-kotak. Investor asing hanya dapat mentransaksikan saham-saham dengan besaran market-cap tertentu, disisi lain ada investor-investor yang hanya fokus pada satu sektor tertentu dan lain sebagainya. Inefisiensi tersebut semakin diperkuat dengan ketidaksempurnaan analisa yang dilakukan oleh masing-masing investor.
Akan tetapi kami tidak pungkiri bahwa saham-saham berkapitalisasi pasar besar seperti cenderung lebih efisien dibandingkan saham-saham lainnya. Hal ini mengingat bahwa saham-saham ini dimonitor oleh banyaknya analis saham secara reguler sehingga banyak pihak yang mengetahui seluk beluk tentang perusahaan-perusahaan tersebut. Dalam hal ini tentunya kemungkinan untuk menemukan kondisi undervalue akan sangat kecil.
Jadi buat saya pribadi, jawaban atas pertanyaan apakah pasar saham efisien atau tidak (terutama Indonesia) merupakan suatu hal yang relatif. Saham-saham berkapitalisasi pasar besar yang dimonitor oleh banyak analis saham tentunya jauh lebih efisien dibandingkan saham-saham berkapitalisasi pasar kecil yang tidak dimonitor oleh analis saham manapun.
Jadi, apakah masih ada potensi untuk menghasilkan imbal hasil yang lebih baik dari pasar ? Menurut hemat saya masih ada potensi itu, sepanjang seorang investor memahami di mana kelas permainannya. Merupakan hal yang konyol untuk berusaha mengalahkan imbal hasil pasar jika investasi anda hanya fokus pada saham-saham berkapitalisasi pasar besar sedangkan anda sendiri secara sumber daya memiliki kekurangan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan investor institusi.
Sebagaimana dalam postingan saya sebelumnya, yang dapat mencatatkan imbal hasil yang lebih baik dari pasar hanyalah para investor yang memiliki second-level thinking, yang ketika dihadapkan pada suatu tesis investasi yang menarik akan secara otomatis meluncurkan pertanyaan; “siapa sih yang ga tau tentang informasi seperti ini ?” Para investor yang mengadopsi second-level thinking ini menyadari bahwa untuk mendapatkan hasil investasi yang lebih baik maka mereka membutuhkan keunggulan dari investor lainnya baik dalam hal informasi maupun analisa. Mereka hanya bermain di arena yang mereka ketahui relatif lebih inefisien dan mereka selalu siaga terhadap segala kemungkinan terjadinya kekeliruan dalam interpretasi dan persepsi atas suatu informasi.
Kesimpulannya, dengan memahami teori efisiensi pasar maka kita dapat melindungi diri kita dari merasa lebih tahu dari orang lain tentang saham-saham yang dimonitor oleh banyak investor dan analis. Namun kita juga harus memahami bahwa teori efisiensi pasar ini tidak berlaku pada semua saham, pada setiap masa dan pada setiap kondisi. Dengan menyadari keterbatasan teori tersebut maka kita masih tetap berupaya untuk mencari saham-saham undervalue dan menghindari saham-saham overvalue terutama dalam kondisi pasar yang ekstrim baik ketika bullish maupun bearish.
Mengutip joke yang disampaikan Howard Marks tentang seorang profesor keuangan yang sangat meyakini teori efisiensi pasar ketika berjalan bersama salah satu mahasiswanya.
“Bukankah itu selembar uang seratus ribu rupiah yang tergeletak di sana ?” sang mahasiswa bertanya. “Bukan, ga mungkin itu uang seratus ribu rupiah,” jawab sang profesor. “Kalau benar itu uang seratus ribu rupiah, orang lain pasti sudah terlebih dahulu mengambilnya.” Sang profesor pun berlalu mengabaikan uang tersebut dan sang mahasiswa mengambil uang tersebut dan membeli pulsa untuk handphonenya.
~cheers~
Disarikan dari The Most Important Thing karya Howard Marks