Buat Bisnis vs Beli Bisnis

Jaman masih kuliah tingkat sarjana, saya dan teman-teman pernah berdiskusi tentang harapan dan mimpi pribadi di masa depan. Banyak di antara kami yang ternyata punya mimpi sederhana, bekerja sebagai pegawai dan menghabiskan hari tua dengan uang pensiun. Namun saya masih ingat beberapa teman yang punya mimpi besar untuk menjadi penguasaha papan atas yang kaya raya, yang pada akhirnya bisa berkontribusi kepada masyarakat di kampungnya dengan membangun lembaga pendidikan yang berkualitas.

Nah, bagaimana dengan saya sendiri ?

Sejujurnya, saya termasuk kelompok yang punya mimpi sederhana. Latar belakang keluarga saya yang bukan berasal dari keluarga pengusaha membuat saya cenderung beranggapan bahwa menjadi pengusaha itu hanyalah mimpi muluk yang indah untuk dibayangkan namun selalu berujung dengan kenyataan yang pahit. Bagi saya, jalan yang lurus adalah dengan menyelesaikan kuliah dengan baik dan cepat lantas segera mencari kerja. Bagi saya saat itu, menjadi pengusaha hanya sebuah mimpi dari orang yang tidak bisa fokus dengan kehidupannya saat ini.

Walaupun sikap saya yang cenderung tidak acuh dengan mimpi menjadi pengusaha, namun saya pernah merasakan langsung jadi pengusaha kecil dimasa kuliah tersebut. Sepupu saya menawarkan uang Rp 1 juta kepada saya, namun uang tersebut harus digunakan sebagai modal usaha. Menghadapi tawaran tersebut, sebagai orang yang ga punya latar belakang wirausaha, saya benar-benar bingung. Pada akhirnya saya menggunakan uang tersebut sebagai modal untuk jualan buku Islami keliling, biasanya saya menggelar buku dagangan saya di komplek musholla kampus.

Pengalaman menjadi pedagang buku tersebut cukup berbekas bagi saya. Dari pengalaman tersebut saya bisa merasakan sulitnya menjadi pengusaha. Saya harus berbelanja buku di toko buku grosiran, kemudian harus memilih buku-buku yang bisa laku dijual, kemudian harus menggelar buku dagangan tersebut seharian di musholla kampus yang akan berakhir hanya jika saya punya kelas atau saya memutuskan untuk pulang ke rumah. Pada akhirnya memang saya tidak bisa mengembalikan modal yang diberikan oleh sepupu saya tersebut. Saya menawarkan untuk melunasinya setelah saya bekerja, namun sang sepupu sangat berbaik hati kepada saya dan menolak rencana saya untuk melunasi uang tersebut. Dia bilang ke saya bahwa uang itu sebenarnya memang ingin dia berikan ke saya cuma-cuma, namun dia ingin agar saya bisa mendapat manfaat dari uang tersebut lebih dari sekedar untuk digunakan mengkonsumsi hal-hal material.

Oke, lantas apa hubungannya curhatan masa lalu di atas dengan judul postingan kali ini ? 😀 Ya, antara ada dan tidak ada hubungannya, tapi yang jelas postingan kali ini berkisar tentang semangat berwirausaha.

Bagi sebagian orang, menjadi pengusaha berarti membangun sebuah bisnis benar-benar dari tidak ada. Baik dengan menciptakan suatu produk atau jasa lantas kemudian menjualnya atau dengan menjadi pedagang/makelar yang menghubungkan antara produsen dengan konsumen. Jarang sekali saya mendengar bahwa menjadi pengusaha juga bisa berarti membeli bagian kepemilikan dalam suatu bisnis yang telah mapan seperti halnya investasi pada saham perusahaan-perusahaan publik.

Saya tidak bermaksud antipati terhadap konsep pengusaha adalah membangun bisnis dari nol, namun saya hanya ingin membuka sudut pandang lain bahwa dengan melakukan investasi di saham-saham perusahaan publik maka kita berarti telah menjadi pengusaha. Tentu saja ada perbedaan di antara kedua hal ini, membangun bisnis dari nol tentunya berarti anda juga bertindak sebagai “manajer” sekaligus “pegawai” bagi bisnis anda selain juga sebagai “pemodal”, sedangkan investasi di saham berarti anda hanya menjadi “pemodal” yang pasif yang mempercayakan orang lain untuk menjalankan bisnis anda.

Jalan manapun yang anda tempuh, yang pasti masing-masing memiliki risiko dan imbal hasilnya sendiri. Bagi saya pribadi, membangun bisnis pribadi dari nol sangat berisiko tinggi mengingat saya tidak memiliki kapasitas, waktu dan latar belakang untuk melakukannya. Saya bukanlah orang yang miliki tingkat kreatifitas tinggi ataupun orang yang memiliki dorongan kuat untuk melewati pahit getirnya merintis usaha. Jadi bagi saya, menggunakan modal yang saya miliki untuk membangun usaha sendiri merupakan tindakan spekulatif yang berisiko tinggi. Oleh karenanya, sebagai alternatif penggunaan dana yang berhasil saya kumpulkan dengan menabung bertahun-tahun, saya lebih memilih untuk investasi di saham-saham perusahaan publik.

Mungkin ada yang bertanya, bukannya lebih berisiko ya investasi di saham ?

Bisa jadi lebih berisiko, jika yang bersangkutan tidak tahu apa yang dilakukannya dengan saham-saham perusahaan publik tersebut.

Bagi saya pribadi, mempelajari investasi saham lebih mudah untuk dilakukan ketimbang mempelajari  dan mengeksekusi sekian banyak aspek dari membangun bisnis dari nol. Pernyataan ini bukan berarti saya mengaku mengetahui segalanya tentang investasi saham. Karena tidak ada seorangpun yang memiliki tingkat kepastian 100% ketika melakukan evaluasi atas investasi di saham suatu perusahaan. Ketidakpastian merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari baik dalam membangun usaha sendiri dari nol maupun dalam investasi di saham-saham perusahaan publik.

Adapun bagi anda para pembaca, anda bisa memilih antara membangun bisnis dari nol, investasi saham secara langsung atau menyerahkan investasi saham anda untuk dikelola oleh orang lain yang anda nilai memiliki kemampuan untuk melakukannya dengan baik.

So, jika anda saat ini tidak memiliki ide bisnis yang cemerlang, bukan berarti anda tidak dapat menemukan bisnis yang cemerlang dengan harga jual yang wajar di bursa saham.

~cheers~

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s